Skip to main content Skip to search Skip to header Skip to footer

Tempat kediaman kita di dalam Allah

Dari Bentara Ilmupengetahuan Kristen - 1 Juli 2009

Diterjemahkan dari majalah Christian Science Sentinel, edisi 5 Januari 2009


“Tuhan, Engkaulah tempat kediaman kami turun-temurun” — Mazmur 90: 1, Contemporary English Version

Tempat kediaman. “Kesadaran yang tenang bahwa kita dikasihi,” demikianlah seorang teman saya menjelaskannya. Wanita ini berusia di atas sembilan puluh tahun, tinggal seorang diri di rumahnya yang sederhana, setelah menjalani hidup yang menakjubkan yang dibaktikannya dengan melayani Allah. Damai dan kepastiannya akan kasih Allah dapat berbicara sangat banyak.

Kalau kita jujur, setiap orang mendambakan apa yang dirasakannya sebagai tempat kediaman yang ideal, sekalipun kelihatannya sulit dicapai. Masalahnya ialah, biasanya tempat kediaman ditafsirkan berdasarkan empat faktor ini — tanah dan bangunan di atasnya, pemilikan, penghuni, dan letak. Namun, di dunia dengan begitu banyak penyandang tunawisma dan tunasarana, dengan para pengungsi yang tercabut dari negerinya, dengan pelayanan keluarga yang mungkin tidak berfungsi, dan hilangnya kemapanan, maka tempat kediaman harus mempunyai makna yang lebih berarti. Tempat kediaman harus merupakan sesuatu di dalam diri kita, agar bersifat permanen.

Pernyataan yang mengilhami tentang hal itu ditulis oleh Dietrich Bonhoeffer, seorang Kristen muda berkebangsaan Jerman, yang dipenjara karena menentang rezim Nazi, dan akhirnya dihukum mati karena mempertahankan keyakinannya. Dari selnya ia menulis, bahwa tempat kediaman “merupakan kerajaan tersendiri di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia, benteng di tengah-tengah badai dan ketertekanan dalam hidup, tempat pengungsian, bahkan tempat perlindungan. Tempat kediaman tidak didirikan di atas pasir yang mudah bergeser seperti yang terlihat dalam kehidupan lahiriah atau kehidupan publik, melainkan mendapatkan damainya di dalam Allah, karena Allahlah yang memberikan kepadanya arti dan nilainya yang khusus, sifat dan hak istimewanya sendiri, takdir dan kebesarannya sendiri. Tempat kediaman adalah sesuatu yang ditahbiskan Allah di dunia, tempat di mana — apa pun juga yang terjadi di dunia ini — di situ dapat ditemukan damai, ketenangan, sukacita, kasih, kemurnian, disiplin, penghargaan, ketaatan, tradisi, dan bersama dengan semua itu, juga kebahagiaan” (A Testament to Freedom, Harper San Francisco, Paperback 1995).

Bonhoeffer menemukan paham tentang tempat kediaman ini di dalam dirinya sendiri, ketika keadaan lahiriah yang dialaminya sangat jauh berbeda. Ia sanggup merasakan sukacita dalam hidupnya sehari-hari di penjara dengan mencerminkan “kepastian yang tenang bahwa kita dikasihi,” seperti yang dikemukakan teman saya. Tempat kediaman merupakan “tanah air kita” yang tidak pernah dapat diserbu, di mana hak-hak kita tidak pernah dapat dilucuti, kerajaan rohaniah yang selalu hadir di mana pun kita ada. Tempat kediaman ini tidak pernah dapat kita tinggalkan dengan rasa berat dan kepedihan, ataupun tidak terjangkau karena harus dicapai melalui jalan yang tidak berujung. Tempat kediaman adalah kesadaran akan kehadiran Allah bersama kita, di sini dan sekarang juga.

Mary Baker Eddy sangat mengasihi dan menghargai tempat kediaman. Tempat tinggalnya semasa kecil sangat disayanginya, tetapi setelah menikah dan meninggalkan rumah, perjalanan hidupnya membawanya selama puluhan tahun melalui terpaan ombak yang tidak menentu. Pusat kasih sayang serta rumah tangganya yang mapan tidak berlangsung lama. Dari tahun 1872 sampai 1875, ketika ia menulis dan menguji kebenaran ide-ide dalam bukunya, lmupengetahuan dan Kesehatan dengan Kunci untuk Kitab Suci, ia berpindah tempat tinggal kira-kira 20 kali — dan mungkin lebih, karena ia mengatakan, bahwa kursi tempat duduknya pada waktu ia menulis bukunya dipindahkan ke delapan rumah yang berbeda selama tahun 1874 saja!

Saya kira, ia akan menghargai ceritera yang sangat disukai ini tentang seorang anak laki-laki kecil dalam keluarga yang terus-menerus berpindah tempat tinggal. Ketika ditanya mengapa mereka tidak mempunyai tempat tinggal, anak itu menjawab, “Ah, sebetulnya kami punya tempat tinggal — hanya saja, kami tidak punya rumah untuk menempatkannya.” Pikiran yang sama dinyatakan dengan ucapan Yesus, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Mat. 8: 20).

Tetapi, tahun-tahun yang sulit mengembangkan dalam diri Mary Baker Eddy paham yang lebih dalam dan tetap tentang tempat kediaman. Sebagaimana dikatakannya kepada para anggota rumah tangganya bertahun-tahun kemudian: “Tempat kediaman bukan merupakan suatu tempat, melainkan suatu kuasa. Kita menemukan tempat kediaman kita ketika kita sampai pada pengertian yang sempurna tentang Allah. Tempat kediaman! Renungkanlah hal itu! Di mana pancaindera tidak mengajukan tuntutan dan Jiwa memberi kepuasan” (Irving Tomlinson, Twelve Years with Mary Baker Eddy, Amplified Edition, 1996, hlm. 211). Meskipun waktu itu ia mempunyai rumah yang penuh kehangatan dan keindahan, seperti yang diidamidamkannya di masa lalu, pahamnya tentang tempat kediaman telah berkembang. Evolusi itu bersifat rohaniah, sejalan dengan dasar pemikirannya yang bergerak dari pancaindera ke Jiwa. Hal itu menyangkut lebih sedikit harta benda dan ketertiban yang maksimal dalam mengelola rumah tangganya sehingga ia dapat dengan leluasa mengerjakan pekerjaan yang ditugaskan Allah kepadanya.

Tugas Yesus yang unik dalam mengubah dunia harus diselesaikannya dalam tiga tahun yang singkat saja, dan hal itu hanya mungkin dilakukannya bila tidak ada ikatan kebendaan sedikitpun. Namun, tempat kediamannya di dalam Allah menyertainya ke mana pun ia pergi. Sebagai dijelaskannya kepada para muridnya: “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu. Dan apabila aku telah pergi ke situ dan telah menyediakan tempat bagimu, Aku akan datang kembali dan membawa kamu ke tempat-Ku, supaya di tempat di mana Aku berada, kamu pun berada” (Yoh. 14: 2, 3). Saya sering merenungkan, bahwa semua ciri yang terdapat dalam rumah tangga yang berbahagia — suka menjamu, menyambut dengan gembira, dan melayani — dicerminkan di “tempat” itu, bukan hanya untuk beberapa waktu saja, tetapi selama seluruh keabadian. Betapa hal itu memberi keyakinan yang kuat akan konsep kita tentang tempat kediaman di dalam Allah, sekarang dan untuk selama-lamanya.

Dari tahun ke tahun ada saatnya ketika paham tentang tempat kediaman perlu ditetapkan kembali. Seorang teman kami, seorang mahasiswa muda, tinggal di sebuah kota universitas yang terkenal dengan akomodasinya yang kurang memadai. Kamar yang telah dipesan sebelumnya untuk dihuni tahun berikutnya sekonyong-konyong dipindah-tangankan, dan rasanya sudah terlambat untuk mencari tempat lain. Sementara orang lain bergegas-gegas kesana-kemari untuk mencari pondokan, ia tetap tenang dan merasa pasti, bahwa tempat kediamannya akan datang kepadanya. Selama berminggu-minggu ia merenungkan syair ini dalam-dalam:

 

Musafir, surgamu di dalam hati;
Pewaris abad dan anak zaman,
S’lalu dijaga serta diberkati,
Tiap langkahmu dibimbing aman.
(Buku Nyanyian Ilmupengetahuan Kristen, No. 278)

Teman kita ini terus mencurahkan perhatiannya kepada tugas akademiknya, dan persis pada waktu tugas itu selesai, seorang temannya sesama mahasiswa, menawarkan apakah ia mau tinggal serumah dengan tiga mahasiswa lain sampai tahun depan. Ternyata rumah itu cocok sekali bagi mereka semua. 

Masalah pindah ke rumah lain juga dapat memberi tantangan bagi warga lanjut usia yang sebelumnya telah hidup mandiri, namun kini perlu hidup bersama orang-orang lain untuk mendapat pelayanan tambahan. Dalam hal ini, makna tempat kediaman sebagai sesuatu yang berkembang dapat menambah semangat hidup. Makna baru tentang tempat kediaman ini dapat menjadi tempat untuk tumbuh dan berkembang. Saya memperhatikan seorang kerabat kami yang sudah berusia lanjut berkembang dalam kasih karunianya ketika ia belajar memperluas perhatiannya kepada orang-orang di sekitarnya. Hal itu tidak selalu mudah, namun dari berbagai foto terlihat, bahwa raut wajahnya berubah dan menjadi lebih lembut dalam tahun-tahun ketika ia menaruh paham yang baru tentang tempat kediaman dan keluarga.

Mungkin kedua hal itu, tempat kediaman dan keluarga, tidak dapat dipisahkan. Kesanggupan menemukan tempat kediaman di dalam diri kita juga menyanggupkan kita menemukan keluarga di mana pun kita berada. Dan hal itu merupakan pengelanaan hidup yang tidak mengenal batas.

Waktu suami saya dan saya baru saja menikah, seorang teman yang baik hati memberi kami hadiah yang sangat besar untuk membantu kami membeli rumah kami yang pertama. Namun yang diberikannya kepada kami jauh lebih berarti daripada uang saja. Ia mengangkat paham kami tentang tempat kediaman dari sesuatu yang kami miliki menjadi sesuatu yang dapat kami berikan. Ia mengatakan kepada kami, ia berharap kami menganggap diri kami sebagai penjaga, bukan pemilik. Segala sesuatu yang dihadiahkannya (dan dengan murah hati ia memberi hadiah kepada banyak orang lain) dibubuhinya etiket, “Agar digunakan untuk menolong orang lain,” serta etiket lain yang bertuliskan, “Pada waktu yang tepat, Anda dapat memberikan hadiah ini kepada orang lain.” Kami mengalami perkembangan yang terus menerus. Tempat kediaman tidak hanya terdiri dari batu bata dan adukan semen; tempat kediaman adalah ide rohaniah — bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan berpusat untuk melayani Allah dan sesama manusia. Teman kami yang bijaksana dan lemah lembut itu memberi kami suatu visi bersama dengan hadiahnya, dan menempatkan kami pada jalan yang terus berkembang dari tahun ke tahun.

Sejak itu, di rumah mana pun yang kami diami, hampir selalu kami menampung sejumlah teman dari seluruh dunia, di samping keluarga kami sendiri. Beberapa orang hanya bermaksud untuk tinggal semalam dan tinggal bersama kami selama bertahun-tahun; dan meskipun selalu datang dan pergi sesuai dengan keperluan mereka, waktunya selalu tepat. Kami menyadari, gaya hidup ini tidak dapat diterapkan oleh semua orang, tetapi di dunia ini, mengingat cukup sulit untuk mendapatkan tempat tinggal dan mengumpulkan sanak keluarga di satu tempat — terutama bagi orang-orang muda yang hidup sendiri — maka kami memilih untuk menafsirkan visi teman kami dengan cara berikut ini: Dan Allah mengaruniai kami keluarga besar yang indah, yang mencakup semua orang.

Selama waktu itu kami belajar banyak tentang tempat kediaman. Kami menghadapi resesi ekonomi — ketika nampaknya tidak mungkin bagi kami untuk pindah rumah atau membiayai apa yang kami perlukan. Kami harus bersabar untuk melakukan perbaikan dan penggantian, dan memahami bahwa kualitas hidup yang kami jalani lebih penting daripada perabotan dan peralatan yang serba mengkilap. Namun tembok-tembok yang “lentur” di rumah kami terus meluas untuk menampung orang-orang yang perlu tumpangan, dan setiap orang membawa sesuatu yang baru pada paham kami akan keluarga Allah yang universal.

Dengan pengalaman-pengalaman seperti itu, saya telah belajar mengetahui, bahwa berbagai perubahan terjadi dalam alur kehidupan kami, kami menemukan diri kami dalam keadaan-keadaan baru, dengan tuntutan-tuntutan dan kesempatan-kesempatan yang baru. Tetapi, kalaupun keadaan mengharuskan kita hidup sederhana seperti musafir di sebuah tenda, atau di rumah mewah di sebuah kota yang modern, tempatkediaman yang tidak pernah berubah adalah yang ada di dalam diri kita. Itulah tempat kediaman kita di dalam Allah, yang diberkati oleh “kesadaran yang tenang bahwa kita dikasihi.” 

Misi Bentara

Pada tahun 1903, Mary Baker Eddy mendirikan Bentara Ilmupengetahuan Kristen. Tujuannya: “untuk memberitakan kegiatan serta ketersediaan universal dari Kebenaran.” Definisi “bentara” dalam sebuah kamus adalah “pendahulu—utusan yang dikirim terlebih dahulu untuk memberitakan hal yang akan segera mengikutinya,” memberikan makna khusus pada nama Bentara dan selain itu menunjuk kepada kewajiban kita, kewajiban setiap orang, untuk memastikan bahwa Bentara memenuhi tugasnya, suatu tugas yang tidak dapat dipisahkan dari Kristus dan yang pertama kali disampaikan oleh Yesus (Markus 16:15), “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.”

Mary Sands Lee, Christian Science Sentinel, 7 Juli 1956

Belajar lebih lanjut tentang Bentara dan Misinya.